Tuhan menciptakan makluk-makluk-Nya dalam ukuran dan takarannya. Semua itu untuk menegaskan sifat kuasa Sang Pencipta yang tak terbatas. Maha hidup, berkuasa, kekal abadi berbeda dengan makluk yang lemah dan terbatas.
Seperti bobot dan tinggi badan manusia bisa ditimbang dan diukur tingginya. Berat suatu benda ada massanya. Baju, sandal dan sepatu diukur disesuaikan bentuk tubuh pemakainya.
Kendaraan ada batas kecepatan dan kapasitas cc-nya. Luas tanah dan rumah pekarangan juga ada batas ukurannya. Dalamnya laut dan luas samodra bisa diukur. Gunung, air, angin dan semua makluknya ada takarannya. Termasuk benda - benda lainnya, terbatas dan terukur.
Begitu juga umur manusia. Bahkan umur umat Nabi Muhammad SAW tergolong pendek. Tidak kurang dan tidak lebih dari 63 tahun, seperti usia nabi.
Sahabat Hasan Basri RA mengatakan hidup itu seperti awan yang berjalan di langit. Sebentar ada, sebentar menghilang digantikan awan lain dan pergi bersama angin yang bergerak.
Kehidupan berjalan silih berganti. Dari semula ada menjadi tiada. Lahir dan mati menjadi perjalanan takdir bagi diri setiap manusia.
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Lalu hanya kepada Allah kamu dikembalikan (QS Al Ankabut : 57).
Tafsir ayat ini menjelaskan, kematian itu bisa datang mendatangi manusia setiap saat, dengan atau tanpa sebab.
Bahkan waktu itu seperti berjalan sangat cepat. Terus mengejar hidup manusia laksana bayang-bayang. Semua seperti tiba-tiba. Tiba-tiba rambut sudah beruban. Tiba-tiba pipi telah keriput, mata sudah rabun. Tiba-tiba SK pensiun tiba di atas meja kerja. Kemarin kita sekolah, sekarang sudah menyekolahkan anak. Kemarin menikah, sekarang sudah menikahkan anak.
Satu per satu orang tercinta, menghilang dari pandangan. Pergi dan mati, meninggalkan kenangan saja. Tersisa hanya cerita atau pusara bisu.
Demi masa maka manusia akan merugi, kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh. Tuhan mengingatkan manusia agar bersungguh-sungguh menjaga waktu. Banyak mengingat kematian dan menggunakan sisa waktu untuk berbanyak-banyak dalam ibadah.
Itu adalah kunci keselamatan agar tidak tertipu oleh waktu.
Ketika banyak manusia sibuk mengejar dunia. Kekuasaan, kekayaan, popularitas, jabatan dan kemewahan dianggap sumber kenikmatan dan kebahagiaan. Kesenangan dan nafsu menjadi nomor satu.
Mereka lalai dan dilalaikan oleh kenikmatan dunia dan berpaling untuk beribadah. Mereka seperti lupa hakekat penciptaan dihadirkan dalam kehidupan dunia.
Janin tidak membutuhkan tangan, kaki, mulut, mata dan telinga saat dikandung dalam perut ibunya. Tangan kaki seolah-olah bikin sumpek dan repot. Ia hanya membutuhkan tali pusar yang dianggap sumber kehidupannya.
Tapi ketika berganti alam dan lahir ke muka bumi. Tali pusar yang dulu dianggap paling dibutuhkan diputus. Mata itu digunakan untuk menatap wajah ibunya. Tangan itu digunakan mengelus sang ibu. Kaki itu untuk melangkah. Mulut itu digunakan untuk menangis dan memanggil sang ibu.
Seperti juga hidup kebanyakan manusia di dunia. Mereka seolah tak butuh beribadah. Sholat seperti buang-buang waktu dan mengganggu aktifitas. Infak, sedekah, zakat atau haji dianggap sebagai buang-buang uang tak berguna. Duduk berlama-lama dengan orang shalaeh mengkaji agama dianggapnya tidak ada guna.
Harta yang mereka kejar. Kekuasaan dan popularitas terus diburu. Jabatan dan pengaruh dianggap kekuatan melanggengkan kenikmatan.
Nyatanya tidak. Kekuasaan dan jabatan itu ada batasnya. Harta dan kemewahan itu akan ditinggalkan. Popularitas, pengaruh dan kemasyuran itu nanti juga akan meredup seiring umur, apalagi ketika tinggallah jasad yang membeku kaku.
Sholat yang dulu sebagian orang dianggap remeh menjadi penolong pertama di alam keabadian. Harta yang dibelanjakan untuk Sang Pencipta yang akan datang menemani. Suara lirih dzikir-dzikir malam dan membaca al quran akan datang membawa safaat dan pertolongan.
Maka mana lagi yang akan dibanggakan manusia.
Dan tidak sama orang buta dengan orang yang bisa melihat, dan tidak sama antara orang beriman dan berbuat baik dengan orang yang berbuat jahat. Hanya sedikit dari kamu yang mengambil petunjuk (QS Gafir : 58)
Hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sebenarnya.
Penulis : Joko Priyono Klaten.