KLATEN (107/11) - Menggapai surga di akherat adalah visi dan cita-cita tertinggi seorang mukmin. Visi hidup dan cita-cita itu terus mengalir dan menggerakan langkah hidupnya agar senantiasa berjalan di jalan kebaikan dan ibadah.
Waktu itu menjadi nikmat yang sangat berharga. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu barang sejengkal untuk hal yang sia-sia. Waktunya sangat efektif dilalui. Keindahan dunia tidak membuat silau untuk lupa menyembah Tuhan. Sebaliknya, kesungguhannya beribadah tak melalaikan untuk menjalani hak dan tanggung-jawabnya hidup di dunia untuk bermuamalah dengan sesama.
Inilah makna tawadzun atau keseimbangan. Muslim akan bekerja keras untuk dunia, seolah-olah ia akan hidup seribu tahun. Tapi ketika mengejar akherat, ia akan istiqomah tak kenal lelah menjaga ibadahnya, seolah-olah esok pagi akan mati.
Sahabat Abdullah Ibnu Ummi Maktum RA yang buta tak mau kalah semangat menjaga sholat lima waktu, biar pun raganya telah renta. Dipancangnya tali di rumah dengan pintu masjid untuk menuntun matanya yang buta agar tidak tertinggal sholat berjamaah dan tepat waktu bersama sahabat yang shaleh.
Seorang pemuda desa siang malam tak pernah berhenti beribadah seolah tak kenal lelah. Dikisahkan dalam saqofah islamiah, pemuda itu siangnya puasa sunah dan malam selalu menjaga tahajud. Lisannya selalu berdzikir di atas punggung onta saat berjalan. Sela - sela waktunya tak lupa dibacanya mushaf al quran agar bibirnya selalu berdzikir denga tilawah. Sebab didorong dalam mimpinya, ia dipilih bidadari sebagai jodohnya disurga.
Abu Darda, Turmidzi dan Ibnu Abbas mengabarkan kepada umat akhir zaman bahwa ada empat golongan yang dirindukan surga. Mereka yang menjaga keistiqomahan amal ibadah.
1. Talil qur’an
Membaca al quran adalah ibadah harian seorang muslim. Seolah tidak ada hari yang berganti, sebelum matanya dipaksa membaca kalam Tuhan-nya.
Membaca al quran termasuk warisan nabi sebagai amal ibadah. Rosulullah tidak mewariskan harta benda untuk umatnya. Tapi al quran adalah warisan terbaik yang beliau tinggalkan sebagai jaminan keselamatan dan kebahagian dunia akherat.
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi (QS : Fatir :29).
2. Khafidul lisan
Lisan adalah nikmat Tuhan yang mudah untuk diajak beribadah sekaligus mudah berbuat dosa. Bahkan banyak manusia yang jatuh ke neraka, karena tak mampu menjaga lisannya.
Menjaga mata menjadi amanah yang berat bagi laki-laki. Menjaga lisan adalah amanat yang berat bagi seorang wanita.
Sifat hasad, dusta, ghibah, mencaci maki sampai marah adalah perilaku lisan yang berujung dosa. Maka kehati-hatian seorang mukmin dalam menjaga lisannya adalah sedikit bicara. Namun ketika berbicara, kata-katanya selalu dituntun dengan kebenaran, kejujuran dan kemanfaatan.
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), hendaklah ia berkata baik atau diam (HR Bukhori).
3. Muth’imil Ji’an
Harta yang berada di tangan orang beriman akan menjadi pintu kebaikan. Ia memaknai harta itu sebagai nikmat untuk membuka jalan kebaikan. Itulah makna sesungguhnya harta yang berkah.
Harta itu bukan dalih bagi seorang mukmin untuk sombong seperti Qorun. Kekuasaan juga bukan alasan mukmin untuk bertakabur kepada Tuhan laksana Firaun. Kepintarannya juga tak mendorongnya congkak seperti Hamam.
Hartanya akan menuntunnya menjadi manusia mulia. Ia akan dermawan karena hatinya penuh kasih sayang. Tak segan ia berbagi kepada saudara lain yang lapar, karena disanalah ditemukan kebahagian.
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan (QS : Ali Imron 134).
4. Fi Sahri ramadhan
Orang yang puasa Ramadhan secara ikhlas itu disayang Tuhan. Betapa tidak? Seorang mukmin itu rela haus dan lapar dari fajar sampai magrib untuk dzat yang gaib. Mata keimanannya mampu melumpuhkan nafsunya untuk menahan haus dan lapar.
Bahkan tidak hanya itu, kata-katanya pun dijaga dari hal yang madlorot atau tidak perlu. Mata, telinga, hati dan perilkunya dijaga untuk menyempurnakan puasanya.
Maka balasan terbaik orang yang puasa itu adalah ampunan. Karena ampunan inilah letak keridloan Tuhan untuk memberikan jaminan keselamatan dan kebahagian itu.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS : Ali Imron 133).
Hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sebenarnya.
Penulis : Joko Priyono Klaten.