Pria berusia sekitar 72 tahun pengerajin anyaman bambu
Dukuh Gatak, Bero, Trucuk, Klaten duduk bersila di teras depan rumah sambil tangannya
terus bekerja membuat alat dapur tradisional anyaman tompo dan kreneng.
Lagu dangdut atau karawitan pancaran radio
pemerintah RSPD Klaten kesukaannya menjadi teman setia pengusir lelah dan rasa
mengantuk ketika harus kerja lembur sampai tengah malam.
Kakek Sayemi dan istri adalah pengrajin ayaman bambu tompo dan kreneng yang masih tersisa.
Dua alat dapur alami itu berbentuk hampir
kubus untuk mencuci masakan. Tompo, anyamannya lebih rapat dan biasanya untuk
mencuci beras.
Kalau kreneng anyamannya lebih renggang. Kreneng cocok untuk mencuci sayuran sebelum
direbus.
Ditemani istrinya yang setia, kakek Sayemi masih
bertahan menjadi pengerajin anyaman bambu, biar pun saat ini alat bantu masak
praktis modern menjadi saingannya.
Kakek Sayemi tidak sendirian menjadi pengerajin anyaman
bambu. Ada sekitar 30 warga lain yang bertahan menjadi pengerajin bambu. Itu pun
didominasi ibu – ibu yang jamak sudah lansia.
Anak muda di Dukuh Gatak, Bero, Trucuk, Klaten sebagai salah satu sentra pengerajin alat
dapaur bambu, hanya sedikit yang tertarik menganyam bambu. Bekerja menjadi karyawan pabrik lebih menarik
sebab daerah kecamatan sekitar pembangunan pabrik banyak menjamur.
“Saya sudah sejak kecil menjadi pengerajin
tompo. Kadang-kadang saja dulu bekerja
sebagai jasa cangkul di sawah atau menjaga air untuk pengairan. Istilahnya “nurut
banyu”. Kalau menjaga air biasa sampai
ke daerah Trucuk ketemu Pak Yososuparto, penjaga bendungan. Kini beliau dah
meninggal, saya masih muda” terang Sayemi bercerita masa mudanya dulu.
Kini bekerja sebagai jasa cangkul sawah tidak laku
lagi. Semua sudah digantikan dengan mesin. Menjadi pengerajin anyaman bambu
menjadi pilihan yang realistis bagi Kakek Sayemi.
“Sekarang menjadi pengerajin anyaman bambu menjadi
pekerjaan utama. Istri sekarang juga tidak lagi bisa bekerja sebagai jasa tanam
padi. Istri yang membantu menghaluskan iratan sambal menganyam. Saya yang biasa membelah bambu” tutur Sayemi
kepada MARIMENYERU.COM.
Harga sebuah tompo dan kreneng masih dihargai
sangat murah. Tompo dan kreneng harganya sama, yakni 3 ribu per buah atau setara
dengan 3 biji bakwan goreng.
“Tiap minggu sudah ada pedagang yang mengambil (tompo
dan kreneng). Satu tangkep (isi 10 buah)
dibeli 30 ribu. Seminggu kami bisa menghasilkan lima tangkep. Seberapa pun kami
syukuri. Alhamdulillah tiga anak saya
bisa sekolah biar pun hanya lulusan SMA” kisah Sayemi didampingi istrinya.
Di usianya yang kian lanjut Kakek Sayemi Hadi
Sumanto dan istri tetap setia dengan pekerjaannya sebagai pengerajin anyaman
bambu alat dapur tompo dan kreneng.
Walaupun alat dapur prakatis modern terus membanjir
sebagai saingan, ia tetap yakin pasar pembeli masih ada biar pun kian tersisih.
Ditemani suara radio dan suara malam yang setia
menemaninya lembur menganyam iratan demi iratan bambu, Kakek Sayemi Hadi
Sumanto dan istri sangat yakin “Gustiallah ora sare”. Tuhan selalu Maha Adil membagi
rezeki untuk umat-Nya.
Penulis Joko Priyono Klaten
Editor Joko Priyono Klaten.