MARIMENYERU.COM
– Kesenian Jawa laras madyo mungkin terasa asing di banyak kalangan. Maklum saja, selain sepi dari hiruk pikuk
publikasi, seni laras madyo tak mudah datangkan cuan, semisal campur sari atau musik
dangdut.
Pewarisnya pun
tak lagi muda. Kebanyakan pelaku seni
laras madyo lebih dari separuh baya.
Padahal kalau publik
tahu, pesan syair kesenian laras madyo sangat agung dan luhur. Syair seni laras
madyo mendendangkan kitab wulangreh dan macapat yang di dalamnya sarat nasehat
dan pesan luhur.
Eksistensi
kesenian laras madyo pun kian sepi. Sedikit panggung dan sedikit tanggapan.
Seniman yang kini tetap bertahan memainkan terbangan, kecrek, siter dan kendang
sebagai instrument utama laras madyo hanya menjaga satu niat, yakni merawat
budaya adi luhung.
Salah satu
perkumpulan seniman laras madyo yang masih bertahan adalah laras madya Ngudi
Luhur asal Dukuh Gatak, Bero, Trucuk, Klaten.
Pelopornya
adalah Bagiyo, tokoh desa setempat. Ayah dua anak itu yang sampai saat ini
menjadi penggerak agar laras madya Ngudi Luhur tetap eksis bertahan.
“Sejak kecil
saya diperkenalkan dengan seni laras madyo itu dari simbah kakung (kakek). Laras
madyo itu lazim dimainkan malam hari. Biasa manggung resmi itu di acara
sadranan jelang tibanya bulan puasa” terang Bagiyo kepada MARIMENYERU.COM.
Tentang syair
yang lantunkan Bagiyo menjelaskan diambil dari tembang macapat dan kitab
wulangreh.
“Kitab
wulangreh itu tulisan Sunan Paku Buwana IV dan Rangga Warsita pujangga Kraton
Surakarto. Isinya tentang nasehat
kehidupan yang intinya mengajak kebaikan” jelasnya.
Bagiyo yang
aktif mengungggah video laras madyo Ngudi Luhur lewat akun youtube Bagiyo Polaris
dan Pendopo Simbah itu mengatakan kalau grup seninya banyak diikuti seniman
yang sudah lanjut usia.
“Di laras
madyo Ngudi Luhur Gatak, Bero itu diiukti 15 sampai 20 orang. Itu pun umurnya
rata-rata di atas 60 tahun. Pesindennya atau penyanyi perempuannya yang aktif
tinggal dua orang. Grup kami pernah tampil di RSPD Klaten. Kami berharap pemerintah memberi ajang
festival laras madyo sehingga para seniman punya ruang untuk berekpresi”
pintanya.
Nyanyi sunyi
laras madyo Ngudi Luhur memang sedikit pengikut dan penggemarnya. Tapi suara pitutur pujangga yang sarat makna
dan nasehat itu tetap harus disuarakan.
Sebab
menyuarakan kebaikan itu tidak boleh mati.
“Pamedare warsitaning ati, cumantaka haniru pujangga, dahat
muda ing batine, nanging Kedah ginunggung, datan ruhyen AKEH ngesemi, ameksa
hamungpaka, basa kang kalantur, tutur kang katula-tula, tinalaten rinuruh
kalawan ririh, mrih padanging Sasmita”.
Penulis Joko Priyono Klaten
Editor Joko Priyono Klaten