• Jelajahi

    Copyright © MARI MENYERU
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    pasang

    Subscribe YouTube

    Post-Truth dan Tantangannya di Era Banjir Informasi

    JEPRI JOKO PRIYONO KLATEN
    Rabu, 22 November 2023, November 22, 2023 WIB Last Updated 2023-11-24T13:58:08Z

                                             


    Media sosial hadir sebagai kekuatan baru yang mampu mengubah banyak peradaban dan perspektif manusia.  Lembaga negara sekelas eksekutif, legislatif dan yudikatif plus media massa yang konon diakui legitimasinya sebagi komponen yang paling berpengaruh, kini punya lawan sebanding dalam mempengaruhi perubahan di era post-truth atau banjir informasi. Sosial kontrol yang semula dominan ada di tangan para jurnalis, maka pekerja berita harus berbagi peran dengan para netizen.

    Bukti keampuhan media sosial  salah satunya adalah fenomena tik-toker Bima Yuda asal Lampung. Video putra Lampung itu viral dan bikin heboh jagat maya lewat celotehnya. Pemuda netizen yang kuliah di Australia itu membuat pejabat publik Pemerintah Provinsi Lampung panas dingin dengan konten videonya yang mengunggah kerusakan jalan di tanah kelahirannya.  Lewat sosmed, youtuber Bima Yuda yang jauh di Australia bisa membuat opini publik tersentral pada pesan konten videonya, sehingga terbangun opini publik atas kinerja pejabat publik yang disorot.

    Bima menyentil pemerintah setempat dengan kerusakan infrastruktur jalan yang berkubang  bak kolam ikan dituduh jadi penyebab Lampung tidak segera beranjak maju. Infrastruktur sebagai urat nadi perekonomian tak support ekspetasi ekonomi warga. Begitu kurang lebih opini publiknya.

    Untung saja pejabat publik di Lampung bergerak cepat dan memberi respon atas aduan Bima.

    Tak hanya itu. Kehebohan video Bima mampu mengetuk pintu istana presiden. Video pengaduan Bima yang viral itu sampai ke telinga presiden sehingga memaksa Presiden Joko Widodo turun gunung. Pembangunan infrastruktur jalan di Lampung pun dikebut pagi siang malam baik lewat APBN maupun APBD. Setelah rampung digarap, rakyat Lampung pun bisa tersenyum menikmati jalan yang kini mulus tak lagi bergelombang dan berkubang berkat video viral, Bima.

    Perubahan, sikap dan respon pemerintah sebagai pejabat publik sontak bergerak dan dinamis menjadi sisi positif peran media sosial di era digital.

    Tapi fakta sosial perkembangan teknologi dan informasi tidak selalu  happy. Berita viral yang juga menyita perhatian publik adalah kasus pembunuhan orang tua dan saudara kandung oleh seorang pemuda 22 tahun asal Magelang Jawa Tengah yang tak lain anak kandung. Gara - gara tersinggung dan marah ditegur dan dinasehati orang tuanya menggiringnya berbuat keji meracun ayah, ibu dan sang kakak hingga meninggal dunia.

    Jiwa pelaku begitu rapuh. Ia mudah marah dan tak mampu mengendalikan emosi diri sehingga tega berbuat keji.

    Fenomena sosial ini sudah diprediksi Marshal MacLuhan. Akibat perkembangan teknologi tatanan dunia berubah cepat tak ubahnya global village atau desa global. Jarak antara Bima Yuda yang belajar di Sedney Australia, dengan Presiden Joko Widodo di Istana Jakarta dan warga Lampung jadi seolah tak bersekat.

    Era post-truth, banjir informasi menyebabkan benar dan salah terlihat abu-abu. Manusia masa kini tenggelam dalam informasi tapi mengalami kelaparan dalam ilmu pengetahuan.  Banjir informasi tak selalu sebanding dengan keluhuran pekerti. Ketergantungan kepada kemudahan dan tehnologi membuat hati manusia rapuh, mudah ambyar bak kaca jatuh ke lantai pecah berserak, karena tidak tangguh menanggung beban.

    Ilmuwan Marshal MacLuhan asal Kanada dalam bukunya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media (1964) mengatakan desa global menggambarkan fenomena seluruh dunia menjadi lebih saling terhubung sebagai akibat dari penyebaran teknologi media di seluruh dunia. 

    Mengutip dari wikipedia.org menyebutkan McLuhan mendasarkan konsepnya pada pemahaman tentang orang-orang yang bergerak ke arah interaksi pribadi di seluruh dunia dan konsekuensinya, yang terjadi dan berjalan secara bersamaan dengan tujuan mereka.  Istilah "desa global" berarti seluruh belahan dunia yang disatukan oleh internet dan interkoneksi komunikasi elektronik lainnya.  

    Realitas baru era digital berimplikasi pada pembentukan struktur baru yang bermakna secara sosial dalam konteks budaya. Pertukaran pesan, cerita, opini, postingan, dan video melalui saluran pada jalur telekomunikasi dapat menyebabkan miskomunikasi.  

    Pemikiran Marshal MacLuhan sejalan dengan futurolog John Naisbitt. Seperti ditulis Muhammad Kurniawan dan diunggah di Kumparan.com (23/2/23), ilmuwan Amerika Serikat yang menulis buku best seller Megatrends dan Global Paradox (1994) itu memprediksi di masa depan akan terdapat lima hal yang bersifat paradoksal dan global.

    Pertama, berkembang pesatnya teknologi mampu mengubah hampir semua cara kita hidup dan berkehidupan. Bekerja, belanja, belajar, pun berubah secara signifikan dewasa ini.

    Dunia daring dan luring kian menjadi pola lumrah dalam interaksi kita dalam kehidupan. Ironisnya, justru manusia semakin hari semakin menghadapi persoalan dan tantangan dalam hubungan antar sesama. Semakin banyak manusia yang bersumbu pendek.

    Kedua, semua paham kalau dunia kian terhubung. Batas geografis antar negara pun hanya tergaris di atas peta. Kemajuan teknologi informasi membuat kita seolah tinggal di sebuah desa global. Justru di saat inilah identitas dan jati diri lokal setiap bangsa semakin menguat. Hingga muncul istilah de-globalisasi.

    Ketiga, meningkatnya ketergantungan pada sumber daya manusia di tengah kemajuan teknologi. Makin maju dan berkembang teknologi, kebutuhan pada peran manusia justru semakin tinggi. Tak hanya kreativitas, imajinasi, daya inovasi saja, namun kemampuan nalar dan akal budi manusia menjadi kunci dalam mengatasi berbagai masalah-masalah global dewasa ini.

    Keempat, kerja sama antar negara adalah sebuah keniscayaan dewasa ini. Tak ada satupun negara yang mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Urusan domestik sekalipun. Namun demikian, persaingan antar negara pun justru kian tajam. Baik yang nampak maupun tidak.

    Kelima, meningkatnya kompleksitas dalam dunia bisnis dan politik. Kompleksitas ini terjadi karena adanya perubahan teknologi, globalisasi, dan perkembangan informasi yang semakin cepat dan kompleks, sehingga menuntut kemampuan adaptasi yang lebih tinggi.

    Pertanyaan mendasar berikutnya adalah bagaimana menghadapi tatanan dunia yang satu dan terhubung nyaris tanpa sekat serta banjir informasi itu? Lalu apa yang harus dilakukan?

    Tak ada jalan lain bagi manusia abad ini untuk menghadapi era post-truth itu adalah membangun konsep diri yang kuat melalui internalisasi tata nilai kebaikan guna membentuk karakter yang bersumber pada budaya dan tata nilai agama yang diyakini.

    Konsep diri yang kuat menjadi benteng terbaik menghadapi tata kehidupan yang berubah cepat dan sangat menggoda.  Meneguhkan dengan tata nilai yang tumbuh di lingkungan setempat disempurnakan dengan pengamalan keyakinan adalah tips terbaik agar tidak rusak oleh perubahan zaman.

    Ketika semut mendekati api membakar tubuh Nabi Ibrahim dengan membawa air guna memadamlan api yang berkobar, maka perbuatan itu mustahil berhasil.  Seberapa banyak air yang bisa dibawa seekor semut untuk memadamkan api yang berkobar-kobar.

    Tapi semut menyanggah pernyataan Nabi Ibrahim dengan mengatakan biarlah air yang dibawa itu menjadi persaksiannya membela dan memilih kebenaran, bukan berpihak kepada Namrud musuh Nabi Ibrahim yang salah.

    Literasi digital itu mengajarkan bagi masyarakat saat ini untuk bijak dalam berkomunikasi dan mengakses informasi khususnya melalui media sosial. Jejak digital itu tidak akan pernah hilang biar pun sudah dihapus. Maka jari jempol itu harus dibimbing teguh oleh kebenaran dan kebaikan. Nilai kemanfaatan atas konten pesan dan informasi menjadi indicator utama dalam berkomunikasi dan mengakses informasi.

    Jangan sampai jari jempol kita menjadi pintu dosa dan kerusakan. Maka berhati-hatilah sebab jejak digital itu tak pernah hilang.

    Penulis Joko Priyono S.Sos M.Si,

    Kepala Sub Kordinator Layanan Informasi dan Statistik, Pranata Humas  Ahli Muda

     Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Klaten.

     

     

     



     

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini