Media sosial hadir sebagai kekuatan baru yang mampu
mengubah banyak peradaban dan perspektif manusia. Lembaga negara sekelas eksekutif, legislatif
dan yudikatif plus media massa yang konon diakui legitimasinya sebagi komponen
yang paling berpengaruh, kini punya lawan sebanding dalam mempengaruhi
perubahan di era post-truth atau banjir informasi. Sosial kontrol yang semula dominan
ada di tangan para jurnalis, maka pekerja berita harus berbagi peran dengan
para netizen.
Bukti keampuhan media sosial salah satunya adalah fenomena tik-toker Bima
Yuda asal Lampung. Video putra Lampung itu viral dan bikin heboh jagat maya
lewat celotehnya. Pemuda netizen yang kuliah di Australia itu membuat pejabat
publik Pemerintah Provinsi Lampung panas dingin dengan konten videonya yang
mengunggah kerusakan jalan di tanah kelahirannya. Lewat sosmed, youtuber Bima Yuda yang jauh di
Australia bisa membuat opini publik tersentral pada pesan konten videonya, sehingga
terbangun opini publik atas kinerja pejabat publik yang disorot.
Bima menyentil pemerintah setempat dengan kerusakan
infrastruktur jalan yang berkubang bak
kolam ikan dituduh jadi penyebab Lampung tidak segera beranjak maju. Infrastruktur
sebagai urat nadi perekonomian tak support ekspetasi ekonomi warga. Begitu
kurang lebih opini publiknya.
Untung saja pejabat publik di Lampung bergerak cepat
dan memberi respon atas aduan Bima.
Tak hanya itu. Kehebohan video Bima mampu mengetuk
pintu istana presiden. Video pengaduan Bima yang viral itu sampai ke telinga
presiden sehingga memaksa Presiden Joko Widodo turun gunung. Pembangunan
infrastruktur jalan di Lampung pun dikebut pagi siang malam baik lewat APBN
maupun APBD. Setelah rampung digarap, rakyat Lampung pun bisa tersenyum
menikmati jalan yang kini mulus tak lagi bergelombang dan berkubang berkat
video viral, Bima.
Perubahan, sikap dan respon pemerintah sebagai pejabat
publik sontak bergerak dan dinamis menjadi sisi positif peran media sosial di era
digital.
Tapi fakta sosial perkembangan teknologi dan informasi
tidak selalu happy. Berita viral
yang juga menyita perhatian publik adalah kasus pembunuhan orang tua dan
saudara kandung oleh seorang pemuda 22 tahun asal Magelang Jawa Tengah yang tak
lain anak kandung. Gara - gara tersinggung dan marah ditegur dan dinasehati
orang tuanya menggiringnya berbuat keji meracun ayah, ibu dan sang kakak hingga
meninggal dunia.
Jiwa pelaku begitu rapuh. Ia mudah marah dan tak mampu
mengendalikan emosi diri sehingga tega berbuat keji.
Fenomena sosial ini sudah diprediksi Marshal MacLuhan.
Akibat perkembangan teknologi tatanan dunia berubah cepat tak ubahnya global
village atau desa global. Jarak antara Bima Yuda yang belajar di Sedney
Australia, dengan Presiden Joko Widodo di Istana Jakarta dan warga Lampung jadi
seolah tak bersekat.
Era post-truth, banjir informasi menyebabkan benar dan
salah terlihat abu-abu. Manusia masa kini tenggelam dalam informasi tapi
mengalami kelaparan dalam ilmu pengetahuan.
Banjir informasi tak selalu sebanding dengan keluhuran pekerti.
Ketergantungan kepada kemudahan dan tehnologi membuat hati manusia rapuh, mudah
ambyar bak kaca jatuh ke lantai pecah berserak, karena tidak tangguh menanggung
beban.
Ilmuwan Marshal MacLuhan asal Kanada dalam bukunya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media (1964) mengatakan desa global menggambarkan fenomena seluruh dunia menjadi
lebih saling terhubung sebagai akibat dari penyebaran teknologi media di
seluruh dunia.
Mengutip dari wikipedia.org menyebutkan McLuhan
mendasarkan konsepnya pada pemahaman tentang orang-orang yang bergerak ke arah
interaksi pribadi di seluruh dunia dan konsekuensinya, yang terjadi dan
berjalan secara bersamaan dengan tujuan mereka. Istilah "desa
global" berarti seluruh belahan dunia yang disatukan oleh internet dan
interkoneksi komunikasi elektronik lainnya.
Realitas baru era digital berimplikasi pada pembentukan struktur baru
yang bermakna secara sosial dalam konteks budaya. Pertukaran pesan, cerita, opini,
postingan, dan video melalui saluran pada jalur telekomunikasi dapat
menyebabkan miskomunikasi.
Pemikiran Marshal MacLuhan sejalan dengan futurolog John Naisbitt.
Seperti ditulis Muhammad Kurniawan dan diunggah di Kumparan.com (23/2/23),
ilmuwan Amerika Serikat yang menulis buku best seller Megatrends dan Global
Paradox (1994) itu memprediksi di
masa depan akan terdapat lima hal yang bersifat paradoksal dan global.
Pertama,
berkembang pesatnya teknologi mampu mengubah hampir semua cara kita hidup dan berkehidupan.
Bekerja, belanja, belajar, pun berubah secara signifikan dewasa ini.
Dunia daring dan luring kian menjadi pola lumrah dalam interaksi
kita dalam kehidupan. Ironisnya, justru manusia semakin hari semakin menghadapi
persoalan dan tantangan dalam hubungan antar sesama. Semakin banyak manusia
yang bersumbu pendek.
Kedua, semua
paham kalau dunia kian terhubung. Batas geografis antar negara pun hanya
tergaris di atas peta. Kemajuan teknologi informasi membuat kita seolah tinggal
di sebuah desa global. Justru di saat inilah identitas dan jati diri lokal
setiap bangsa semakin menguat. Hingga muncul istilah de-globalisasi.
Ketiga,
meningkatnya ketergantungan pada sumber daya manusia di tengah kemajuan
teknologi. Makin maju dan berkembang teknologi, kebutuhan pada peran manusia
justru semakin tinggi. Tak hanya
kreativitas, imajinasi, daya inovasi saja, namun kemampuan nalar dan akal budi
manusia menjadi kunci dalam mengatasi berbagai masalah-masalah global dewasa
ini.
Keempat, kerja sama antar negara adalah sebuah keniscayaan dewasa ini.
Tak ada satupun negara yang mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Urusan
domestik sekalipun. Namun demikian, persaingan antar negara pun justru kian
tajam. Baik yang nampak maupun tidak.
Kelima, meningkatnya kompleksitas dalam dunia bisnis dan politik.
Kompleksitas ini terjadi karena adanya perubahan teknologi, globalisasi, dan
perkembangan informasi yang semakin cepat dan kompleks, sehingga menuntut
kemampuan adaptasi yang lebih tinggi.
Pertanyaan mendasar berikutnya adalah bagaimana menghadapi tatanan dunia
yang satu dan terhubung nyaris tanpa sekat serta banjir informasi itu? Lalu apa
yang harus dilakukan?
Tak ada jalan lain bagi manusia abad ini untuk menghadapi era post-truth
itu adalah membangun konsep diri yang kuat melalui internalisasi tata nilai
kebaikan guna membentuk karakter yang bersumber pada budaya dan tata nilai
agama yang diyakini.
Konsep diri yang kuat menjadi benteng terbaik menghadapi tata kehidupan
yang berubah cepat dan sangat menggoda.
Meneguhkan dengan tata nilai yang tumbuh di lingkungan setempat
disempurnakan dengan pengamalan keyakinan adalah tips terbaik agar tidak rusak
oleh perubahan zaman.
Ketika semut mendekati api membakar tubuh Nabi Ibrahim dengan membawa
air guna memadamlan api yang berkobar, maka perbuatan itu mustahil
berhasil. Seberapa banyak air yang bisa
dibawa seekor semut untuk memadamkan api yang berkobar-kobar.
Tapi semut menyanggah pernyataan Nabi Ibrahim dengan mengatakan biarlah
air yang dibawa itu menjadi persaksiannya membela dan memilih kebenaran, bukan
berpihak kepada Namrud musuh Nabi Ibrahim yang salah.
Literasi digital itu mengajarkan bagi masyarakat saat ini untuk bijak
dalam berkomunikasi dan mengakses informasi khususnya melalui media sosial. Jejak
digital itu tidak akan pernah hilang biar pun sudah dihapus. Maka jari jempol
itu harus dibimbing teguh oleh kebenaran dan kebaikan. Nilai kemanfaatan atas
konten pesan dan informasi menjadi indicator utama dalam berkomunikasi dan
mengakses informasi.
Jangan sampai jari jempol kita menjadi pintu dosa dan kerusakan. Maka
berhati-hatilah sebab jejak digital itu tak pernah hilang.
Penulis Joko Priyono S.Sos M.Si,
Kepala Sub Kordinator Layanan Informasi dan Statistik,
Pranata Humas Ahli Muda
Dinas
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Klaten.