MMC MEDIA - Penjual es campur di Kota Klaten bisa
dibilang bejibun alias banyak. Minuman segar dengan perpaduan buah,
kolang-kaling, gula jawa dan tape ini
paling segar diminum saat panas dan dahaga menantang.
Tapi penjual es campur satu bisa dibilang paling
legend alias melegenda. Beliau jual sejak zaman Presiden Sukarno. Artinya sosok
ini jualan sejak 1965-an atau hampir 60 tahun.
Luar biasa.
Namanya Pak Gumun. Usianya sekarang 76 tahun. Kakek
12 cucu itu tetap setia jualan sampai sekarang dengan segudang cerita dari masa
ke masa.
"Saya jualan es campur dawet ini sejak harga
semangkok 1 sen. Itu zaman Presiden Sukarno. Lalu harga rong gelo (dua rupiah)
sampai limang gelo (lima rupiah)" cerita pak Gumun sambil duduk di bawah
pohon ketepeng Jalan Kopral Sayom Jetak, Klaten saat ditemui
marimenyeru.com Sabtu siang (8/2).
Pak Gumun sekarang tidak sendirian jualan es
campur. Ia mengaku ilmunya sudah diturunkan ke anak cucunya untuk berjualan es
campur dawet.
"Sekarang sudah ada enam cabang es campur Pak
Gumun Junior. Cucu-cucu saya yang meneruskan. Ada cabang di dekat Mbah Ruwet
Ceper, Ringinan MAN Karanganom Mudal, di Jalan Kopral Sayom Jetak, komplek GOR
Gelarsena Klaten, dan Mlinjon Tonggalan Klaten " jelasnya.
Es campur Pak Gumun senior memang khas. Balok es
yang digunakan untuk campuran masih diparut tradisional. Istilah jawanya digosrok. Jadi ada papan kecil yang tengahnya dipasang
pisau tipis. Lalu es batu ditekan dengan
tangan dengan alat bantu kayu kecil yang ditanami banyak paku. Lalu es batu itu ditaruh di atas papan dengan
pisau tipis.
Serutan es batu akan jatuh dari bawah papan. Tak lupa semangkuk adonan gula, buah, cincau
dan tape sudah disiap dengan parutan es batu sebagai topping. Sesaat es campur dawet Pak Gumun siap
disantap.
Harganya pun ringan dikantong. Semangkok es campur dawet Pak Gumun hanya bertarif tujuh ribu saja.
Duduk di bawah pohon ketepeng sambil minum es
campur dengan Pak Gumun juga banyak cerita tentang sejarah.
“Dulu zaman G30/S-PKI ( Gerakan 30 September 1965,
Pemberontakan PKI) banyak orang dibunuh.
Tokoh islam banyak yang diculik dibawa ke daerah Jambu Kulon,
Ceper. Lalu mereka banyak dibunuh dan
mayatnya dibuang di Sungai” jelas Pak Gumun.
Pak Gumun mengaku akhir-akhir ini omzetnya
menurun. Tidak selalu sebab cuaca, tapi
ia mengaku ekonomi saat ini dirasakan lesu.
“Saat ini pembeli saya menurun mas. Para pedagang pasar juga banyak yang mengeluh
dagangannya sulit laku. Banyak juga
orang pesan beli es campur. Bilangnya
uangnya besok. Yang seperti ini saya hitung-hitung nilai lebih dari satu juta
tidak dibayar. Tapi saya tidak apa-apa.
Rezeki sudah diatur Allah SWT” ungkapnya ikhlas.
Di usia yang sudah senja, Pak Gumun masih setia
dengan profesinya sebagai penjual es campur dawet di Jalan Kopral Sayom. Ia tidak
selalu berpikir uang. Bisa ngobrol dan
bercerita tentang sejarah tempo dulu bagi para pembeli setianya, menjadi bagian
diri untuk menyambung cerita sejarah itu untuk diingat.
Sesungguhnya hidup itu tidak selalu harus memburu
uang.
Penulis Joko Priyono Klaten